monokorobotosomono

monokorobotosomono
in bandel city

Minggu, 29 April 2012

Penyuluhan di pulau-pulau kecil


BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia yang teruntai oleh sekitar 17.480 pulau dengan garispantai sepanjang 95.181 km2, dan terbentang pada wilayah laut territorial seluas 3,1 juta km2 (63% dari total wilayah territorial Indonesia) ditambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2, memiliki potensi sumberdaya pesisir ,laut dan pulau-pulau kecil yang luar biasa besar sehingga tidak terbantahkan merupakan pusat keanekaragaman hayati laut terbesar dunia.
Besarnya potensi sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang dimiliki pada sisi dan menguatnya kecenderungan degadrasi dikawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil disisi yang lain, memberikan sinyal urgensi pengelolaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang dapat dirangkumkan ke dalam 4 (empat) rekomendasi :
1.      Pertama, mendesaknya penerapan undang-undang tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk meneguhkan Negara Kepulauan.
Pada sisi formal, lahirnya Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menuntut adanya penerapan pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang efektif baik secara ekologi, sosial budaya maupun ekonomi sebagai wujud peneguhan negara kepulauan. Penerapan UU No.27/2007 harus berazaskan keterpaduan dan keberlanjutan demi tercapainya ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan serta ekonomi masyarakat secara berkesinambungan.Selain itu penerapan undang-undang ini dapat mendorong dan menuntut perubahan tata kelola kelembagaan yang terkait pembangunan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil untuk berorientasi kelautan.
2.      Kedua, penguatan pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai “lumbung” sumberdaya hayati pesisir dan laut.
Secara agregat dapat dikatakan bahwa nilai output perikanan nasional sebagian besar (70-80%) dihasilkan oleh kawasan pulau-pulau kecil yang ada dinusantara ini. Hal ini tak mengherankan karena hanya dikawasan pulau-pulau kecillah hamparan terumbu karang, selimut mangrove dan padang lamun masih dalam kondisi yang cukup baik. Hal ini mungkin tidak akan selamanya dalam kondisi demikian jika kita tidak memfokuskan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut pada kawasan pulau-pulau kecil. Karena itu diperlukan langkah-langkah strategis dalam pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan :
·         Membuat tata ruang kawasan pulau-pulau kecil secara partisipatif berdasarkan  kesesuaian lahan (land suitability) dan daya dukung lingkungan (environmental carrying capacity).
·         Menyusun rencana pengelolaaan kawasan pulau-pulau kecil berbasis ekosistem dan masyarakat.
·         Menggalakan kegiatan-kegiatan penyuluhan dan pelatihan tentang pengelolaan terpadu pulau-pulau kecil (misalnya konservasi dan rehabilitasi mangrove, penangkapan ikan yang ramah lingkungan, pengembangan mata pencaharian alternatif, dan sebagainya).
·         Membuat percontohan pengelolaan terpadu kawasan pulau-pulau kecil berbasis masyarakat dengan pendekatan ke-manajemen (misalnya contoh pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat, rehabilitasi ekosistem pulaupulau kecil berbasis masyarakat).
·         Mengembangkan sistem insentif dan disinsetif dalam implementasi pengelolaan terpadu pulau-pulau kecil berbasis ekosistem dan masyarakat.
3.      Ketiga, pemberdayaan ekonomi rakyat khususnya yang tinggal di wilayah pesisir.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian SDA yang ada itu sendiri atau keuntungan ekonomi semata tapi lebih dari itu adalah untuk kesejahteraan masyarakat kawasan pesisir dan pula-pulau kecil yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi.Oleh karenanya, dengan memperhatikan aspek “kemasyarakatan” maka secara simultan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil baik secara ekologi maupun ekonomi akan dapat dicapai, karena hal itu merupakan bagian dari sebuah sistem pengelolaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang sangat penting bagi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
4.      Keempat, urgensi pembangunan sumberdaya manusia melalui pengembangan pendidikan kelautan berbasis riset.
Realitas SDM suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari realitas pendidikan sebagai sistem fundamental pengelolaan dan penghasil pengetahuan itu sendiri. Karena seberapa banyak SDM handal yang dihasilkan akan tergantung pada sejauh mana atau sehebat apa sistem pendidikan yang ada ituberjalan. Sudah cukup banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa sistem pendidikan itu sangat erat hubungannya dengan berhasil tidaknya usaha suatu bangsa dalam mengatasi problem yang dihadapinya. Pendidikan adalah proses panjang yang dapat dianggap sebagai suatu alat utama untuk meningkatkan kesadaran politik dan sosial, serta menyediakan tenaga-tenaga terlatih untuk proses produksi dalam suatu pembangunan modern. Keahlian kejuruan dan teknis dipandang sebagai kunci menuju modernisasi; dan pendidikan dasar , menengah maupun tinggi yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja adalah sistem produksinya.
Indonesia juga akrab dikenal sebagai Negara maritim yang memiliki wilayah laut 2/3 dari seluruh luas wilayah atau  sekitar 70 % wilayah teritorialnya berupa laut. Dengan perairan laut seluas total 5,8 juta Km2 (berdasarkan konvensi PBB tahun 1982), Indonesia menyimpan potensi sumberdaya hayati dan non hayati yang melimpah (Simanungkalit dalam Resosudarmo, dkk.,2002). Hal ini menyebabkan sebahagian besar masyarakat tinggal dan menempati daerah sekitar wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya sebagai nelayan.
Jumlah nelayan perikanan laut di Indonesia menurut kategori nelayan maka status nelayan penuh merupakan jumlah terbesar dari nelayan sambilan utama maupun nelayan sambilan tambahan dan jumlah ini setiap tahunnya menunjukkan peningkatan (Dirjen Perikanan Tangkap, 2002).Hal ini mempunyai indikasi bahwa jumlah nelayan yang cukup besar ini merupakan suatu potensi yang besar dalam pembangunan perikanan.
Keberadaan kehidupan nelayan selama ini dihadapkan dengan sejumlah permasalahan yang terus membelitnya, seperti lemahnya manajemen usaha, rendahnya adopsi teknologi perikanan, kesulitan modal usaha, rendahnya pengetahuan pengelolaan sumberdaya perikanan, rendahnya peranan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dan lain sebagainya mengakibatkan kehidupan nelayan dalam realitasnya menunjukkan kemiskinan.
Kemiskinan, rendahnya pendidikan dan pengetahuan serta kurangnya informasi sebagai akibat keterisolasian pulau-pulau kecil merupakan karakteristik dari masyarakat pulau-pulau kecil (Sulistyowati, 2003).Hasil pembangunan selama ini belum dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di kawasan pulau terpencil.Masyarakat diletakkan sebagai obyek pembangunan dan bukan sebagai subyek pembangunan, dengan demikian dibutuhkan perhatian dan keinginan yang tinggi untuk memajukan kondisi masyarakat pesisir khususnya nelayan sebagai pengelola sumberdaya pulau-pulau kecil agar dapat berlangsung secara lestari (Sulistyowati, 2003).
Pemerintah melalui Departemen Perikanan dan Kelautan selama ini telah melakukan kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang berjalan berdasarkan kebijakan KepMen 41 Tahun 2000 Departemen Kelautan dan Perikanan tentang Pedoman Umum pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Tujuan dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat (DKP, 2002). Kebijakan tersebut menghendaki perlu adanya partisipasi masyarakat, karena keikut sertaan masyarakat akan membawa dampak positif, mereka akan memahami berbagai permasalahan yang muncul serta memahami keputusan akhir yang akan diambil. Untuk itu, dalam partisipasi masyarakat diperlukan adanya komunikasi dua arah yang terus menerus dan informasi yang berkenaan dengan program, proyek atau kebijakan yang disampaikan dengan bermacam-macam teknik yang tidak hanya pasif dan formal tetapi juga aktif dan informal (Hadi dalam Harahap, 2001).
Salah satu faktor yang penting untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat nelayan adalah pembinaan yaitu antara lain; melalui penyuluhan dan pendidikan yang terus menerus kepada masyarakat setempat. Pembinaan masyarakat dapat dilihat dari beragam pendekatan, sehingga dapat memahami pokok-pokok pikiran tentang pembinaan yaitu antara lain ; pembinaan merupakan suatu sistim pendidikan non formal, yang berupaya mengubah perilaku sasarannya
Konsep pembinaan masyarakat nelayan dalam kerangka perspektif pembangunan perikanan yang berkelanjutan di Indonesia perlu dikaji secara baik, tepat dan menyentuh sasaran yang ingin dicapai mengingat pertimbangan beberapa faktor, antara lain; pembinaan masyarakat nelayan melibatkan banyak pihak yaitu, dari pemerintah, lembaga pendidikan, swasta, lembaga-lembaga non pemerintah maupun masyarakat nelayan sendiri; proses pembinaan yang berlangsung harus dilakukan secara terus menerus dan simultan dengan masyarakat nelayan sehingga menimbulkan perubahan-perubahan yang sesuai dengan tujuan pembangunan perikanan yang diharapkan.
1.      TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan kompleksitas permasalahan seperti telah dipaparkan diatas maka tujuan dalam penulisan ini yakni menjelaskan tentang realita peyuluhan pada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, yang meliputi karakteristik masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, kendala, hambatan, permasalahan serta peluang yang ada pada masyarakat tersebut.
2.      MANFAAT
Adapun harapan yang ingin saya capai dalam penulisan ini yakni sesuai dengan tujuan diatas tentang relita penyuluhan pada masyarakat pesisir dan pulau- pulau kecil:
1.      Mengetahui tentang hambatan-hambatan dan kendala serta permasalahan  yang dialami oleh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
2.      Mengetahui tentang peluang yang ada pada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil


BAB II
PEMBAHASAN
REALITA PENYULUHAN PADA MASYARAKAT PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Definisi pulau-pulau kecil menurut UNCLOS (1982, Bab 121, Artikel VIII, paragraph I) adalah area lahan (daratan) yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air yang berada di atas muka air pada pasang tinggi (tidak boleh tenggelam, jika air pasang tinggi).
             Definisi pulau kecil berdasarkan UU no 27 tahun 2007, tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya.

1.      KENDALA HAMBATAN DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI MASYARAKAT PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Masyarakat yang berada di pulau-pulau kecil dan terpencil umumnya berada dalam kondisi serba kekurangan.Mereka tidak memiliki sumber air tawar dan energi listrik memadai. Selain itu karena berada di luar jangkauan jaringan komunikasi dan informasi, penduduknya terbelakang bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi juga pendidikan
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil adalah pangan.Hal ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat pulau-pulau kecil di Indonesia, tapi juga oleh sebagian besar negara-negara kepulauan di seluruh dunia.
Sebagaimana disadari bahwa sebuah pulau tidak dapat berdiri sendiri dalam mencukupi kebutuhan penduduknya tanpa didukung oleh keberadaan sumberdaya alam di pulau-pulau lain. Maka tak heran jika masalah ketahanan pangan di negara-negara kepulauan baik di Lautan Pasifik, Atlantik, perairan laut Asia dan Afrika telah menjadi perhatian PBB melalui badannya yaitu UN DESA (United Nation Departement of Economic and Social Affairs) dan FAO (Food and Agriculture Organization).
Mereka membentuk jaringan negara-negara kepulauan seperti Small Island Developing States Network (SIDS Net), European Small Islands Network (ESIN), Small Islands Information Network (SIIN), dan sebagainya.Jaringan-jaringan semacam ini dibentuk oleh negara-negara pulau yang difasilitasi oleh PBB untuk membahas dan mencari solusi terhadap segala permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara pulau, termasuk di antaranya masalah ketahanan pangan.
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah terluas di dunia juga memiliki kendala yang sama, yaitu ketahanan pangan. Bagi Pulau Miangas, salah satu pulau terluar di Laut Sulawesi, cadangan pangan sering menjadi kendala bagi sebagian besar penduduknya, terutama pada saat cuaca laut tidak bersahabat, karena distribusi barang menjadi terhambat.
Pulau yang jaraknya lebih dekat ke negara tetangga Filipina (48 mil) dari pada ke ibukota kecamatannya sendiri yaitu Kec.Nanusa (145 mil), pada saat-saat tertentu seperti terisolir.Bagaimana jika negara tetangga Filipina lebih peduli kepada mereka daripada kita, saudara sebangsanya sendiri? Maka tidak ada kata lain bagi pemerintah kecuali harus serius mencari solusi untuk menciptakan sistem ketahanan pangan bagi pulau-pulau kecil.
Di Provinsi Banten, dari sekitar 61 pulau kecil yang kita miliki (minus 22 pulau di Kepulauan Seribu yang diklaim DKI Jakarta), kita memiliki 3 pulau di antaranya yang sudah berpenghuni, yaitu P. Panjang, P. Tunda dan Pulau Sangiang. Penduduk di P. Panjang dan P. Sangiang sudah tergolong padat bahkan sudah memiliki administratif pemerintahan desa, sedangkan P. Sangiang baru dihuni oleh beberapa keluarga saja.
Permasalahan kelangkaan pangan pun sering menimpa saudara-saudara kita yang tinggal di pulau-pulau ini, terutama pada saat gelombang tinggi yang terjadi sekitar bulan September-Maret setiap tahunnya.Permasalahannya bukanlah karena daya beli mereka yang rendah, tapi pasokannya yang tidak ada.
Stok panganlah yang tidak tersedia.Wlalupun memang diantara mereka mungkin ada juga yang tidak memiliki kemampuan daya beli dikarenakan pada musim barat itu mereka tidak bisa mencari nafkah di laut.Inilah cerita yang setiap tahun harus terulang, walaupun tahun ini tidak separah tahun lalu.
Sebenarnya instrumen di tingkat daerah yang menangani masalah ini sudah cukup banyak. Ada Dinas Kelautan dan Perikanan yang menangani masalah pulau-pulau kecil, ada Dinas Ketahanan Pangan yang bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan masyarakat (food security), ada Dinas Perhubungan untuk bantuan distribusi, bahkan ada Perum BULOG yang sifatnya selain untuk mencari keuntungan (sejak PP No. 7 Tahun 2003) juga harus membantu pemerintah dalam masalah ketahanan pangan. Minimal keempat instrumen itulah yang harus dapat segera mensinergikan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan ini.
Dari sisi instrumen peraturan perundangan juga sudah cukup tersedia. Dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan ada pasal-pasal yang mengatur masalah Ketahanan Pangan yaitu Pasal 45 - 48, khususnya Pasal 46 d) yang menyatakan “pemerintah mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah dan atau menanggulangi gejala kekurangan pangan, keadaan darurat, dan atau spekulasi atau manipulasi dalam pengadaan dan peredaran pangan”.

Cadangan Pangan Pemerintah Desa
Selain itu ada pula peraturan pemerintah yang lebih khusus membahas masalah ini, yaitu PP No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan.Dimana pasal 5 mengamanatkan bahwa pemerintah dan masyarakat harus membentuk sebuah sistem Cadangan Pangan Pemerintah Desa, Kab/Kota, Provinsi, dan Nasional. Dengan kata lain bahwa masyarakat di masing-masing desa, termasuk P. Tunda, P. Panjang dan P. Sangiang harus segera mewujudkan sistem Cadangan Pangan Desa agar masalah ketahanan pangan dapat segera teratasi.
Provinsi Banten termasuk provinsi muda, begitu pula Dinas Ketahanan Pangan yang juga baru dibentuk setahun terakhir, maka tak heran apabila semuanya masih dalam tahap penataan.Untuk itu segala upaya untuk mensinergikan langkah untuk mengatasi permasalahan ketahan pangan di pulau-pulau kecil ini harus menjadi prioritas utama pemerintah daerah sebelum musim barat kembali tiba.
1.      PELUANG YANG ADA  PADA MASYARAKAT PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Salah satu contoh peluang pada pulau-pulau kecil:
Upaya mengangkat harkat hidup masyarakat di pulau terpencil, dilakukan Kementerian Riset dan Teknologi bekerja sama dengan Departemen Sosial. Salah satunya berupa penerapan teknologi pembangkit listrik energi surya (PLTS).
Dalam kunjungan kerjanya, Menristek Hatta Rajasa dan Mensos Bachtiar Chamsyah di Banda Aceh dan Pulau Nasi Provinsi NAD, Selasa (6/1), menyerahkan 50 unit pembangkit listrik tenaga baterai atau aki kepada penduduk di pulau kecil itu. Selain itu sebagai pemasok listrik utama dibangun PLTS."Masuknya listrik di pulau-pulau kecil diharapkan akan menghidupkan kegiatan ekonomi, sosial, dan pendidikan di daerah ini," ujar Hatta.
Selain di Pulau Nasi, KRT akan memberikan secara cuma-cuma 3.000 unit PLTS kepada penduduk di daerah dan pulau terpencil, yang berada di Provinsi Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua.
Pembangkit listrik ini merupakan hasil kerja sama riset antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Institut Teknologi Bandung. Dalam hal ini melalui program Riset Unggulan Strategis Nasional berhasil dikembangkan sel surya untuk PLTS .
Penerapan PLTS merupakan salah satu dari upaya pemanfaatan teknologi yang berhasil dikembangkan bangsa sendiri dan bertujuan untuk lebih mendorong masyarakat melakukan inovasi dan mandiri dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sjafri Sairin, Deputi bidang Dinamika Masyarakat Kementerian Riset dan Teknologi, menambahkan, dengan menumbuhkan kreativitas dan inovasi masyarakat diharapkan juga meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menggandeng Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta dalam mengelola pulau-pulau kecil melalui Program Corporate Social Responsibility (CSR) atau Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).Program adopsi pulau ini bertujuan mendorong pergerakan perekonomian lokal.
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengatakan dalam upaya mendukung program tersebut, KKP telah melakukan kerjasama dengan beberapa perusahaan swasta, seperti Conoco Philips Indonesia Inc Ltd, Premier Oil Natuna Sea BV, Star Energy (Kakap) Ltd, PT International Nickel Indonesia Tbk dan Medco Energy. “Beberapa perusahan tersebut telah menunjukkan komitmennya untuk memberikan kontribusi terhadap kegiatan pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan,” ujar Fadel Muhammad pada acara Forum “Program Adopsi Pulau” di Jakarta, Rabu (19/1).
Fadel menambahkan KKP telah menawarkan 20 pulau kecil yang potensial untuk Program Adopsi tersebut di antaranya Pulau Lepar, Enggano, Kemujan, Maradapan, Maratua, Sebatik, Siantar, Gilik Belek, Pasaran, Dullah, Koloray, Alor, Mansuar, Battoa, Selayar, Samatellu Pedda, Lingayan, Manado Tua, Gangga dan Mentehage.
Salah satu langkah pengembangan usaha di pulau-pulau kecil adalah pembangunan yang bersumber dari dana CSR. Setidaknya terdapat lima aspek dalam CSR, yaitu dimensi sosial, ekonomi, lingkungan, fokus pada pemangku kepentingan dan bersifat voluntary. Dijelaskan, kegiatan ini diawali dengan pembangunan masyarakat melalui pengembangan aspek sosialnya, tanpa harus menuntut profit dan pengembalian dana yang diinvestasikan.
KKP menawarkan menu kegiatan yang dapat dikembangkan perusahaan atau BUMN meliputi rehabilitasi ekosistem pulau-pulau kecil, pembangunan sarana dan prasarana yang mendukung usaha masyarakat, penguatan permodalan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), pengembangan usaha mikro di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pengembangan mata pencaharian alternatif yang memanfaatkan potensi SDA pesisir dan pulau-pulau kecil setempat.

SALAH SATU CONTOH PENYULUHAN PERIKANAN DI PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA :
‘Nandur Mangrove, Mbangun Ndeso’. Kegiatan penyuluhan dan penanaman ini akan dilaksanakan pada tanggal 29-30 Oktober 2011, di Kelurahan Mangunharjo, kecamatan Tugu, Semarang. Kegiatan tersebut merupakan salah satu bentuk pengabdian masyarakat yang dilakukan WAPEALA, mengingat berbagai permasalahan lingkungan yang masih menjadi trend topic di Indonesia, khususnya Semarang.

Salah satu permasalahannya adalah berkurangnya daerah mangrove sehingga mengakibatkan abrasi di kawasan pantai Semarang.Untuk itulah WAPEALA sebagai organisasi yang bergerak di bidang petualangan dan lingkungan menjadi tergerak untuk merehabilitasi pantai yakni melakukan penanaman bibit mangrove sebanyak 5000 bibit dan sekaligus memberikan penyuluhan kepada warga di sekitar pantai.
Menurut ketua panitia, Ardiyan, mengatakan, maksud dari tema yang diusung yakni ‘Nandur Mangrove, Mbangun Ndeso’ adalah kegiatan penyuluhan dan penanaman bibit mangrove ini tidak sekedar menanam bibit, tetapi juga mengupayakan pemanfaatan dan pengolahan bibit mangrove hingga memiliki nilai ekonomis yang berguna bagi masyarakat khususnya warga Mangunharjo.
Dalam kegiatan ini WAPEALA akan mengajak warga Mangunharjo dan sejumlah perwakilan SMA se-kota Semarang serta relawan asing dari IIWC untuk ikut berpartisipasi dalam rehabilitasi daerah mangrove.
“ WAPEALA juga mengajak Dinas Perikanan dan Kelautan, Departemen Kehutanan (Dinhut), Perum Perhutani dan beberapa instansi terkait lainnya untuk mendukung kegiatan ini. Dalam kegiatan ini warga juga akan diajak berperan aktif bersama pemateri, salah satunya mengolah bibit mangrove menjadi aneka makanan ringan”, tambah Ardiyan.
Melalui kegiatan penanaman dan penyuluhan bibit tanaman mangrove ini diharapkan dapat membangun masyarakat madani dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian lingkungan.(Rni)
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari penjelasan  diatas saya dapat mengambil kesimpulan bahwa realita penyuluhan yang terjadi pada Masyarakat pulau-pulau kecil mengalami banyak kendala, hambatan maupun permasalahan diantaranya sumber air yang digunakan, pangan, listrik, transportasi dan lain sebagainya, hal ini jelas sangat berpengaruh terhadap suatu penyuluhan yang akan dilakukan, karena penyuluh dan penyuluhan sendiri membutuhkan sarana tersebut sebagai media dalam melakukan penyuluhan. Untuk  itu Perlu adanya campur tangan pemerintah dan pihak swasta terutama meteriil untuk membangun daerah tesebut, seperti sarana pendidikan, tekhnologi yang memadai, dan fasilitas lainnya yang menunjang daerah tersebut untuk kedepannya. Sedangkan bantuan imateriil berupa sumbangan dalam pemberian penyuluhan.
B.      SARAN

Adapun saran yang dapat saya sampaikan yakni dibutuhkan kerjasama yang baik dari pihak pemerintah, swasta, maupun masyarakat pulau-pulau kecil sendiri mencakup seluruh aspek kehidupan agar terciptanya suatu inovasi demi terwujudnya kemajuan dalam bidang tekhnologi maupun kesejahteraan masyarakat dipulau-pulau kecil itu sendiri.






DAFTAR PUSTAKA
Abdulmuthalib.2009.Model pengolahan pesisir dan pulau-pulau kecilhttp://www.abdulmuthali b.co.cc/2009/08/4-model-pengelolaan-pesisir-dan-pulau.html.

Stoddart, 1975 dalam makalah Wikanti Asriningrum. 2004. Studi identifikasi karakteristik pulau kecil menggunakan data landsat dengan pendekatan geomorfologi dan penutupan lahan. Institute pertanian Bogor(upload tnggl 27-1pril-2011)
Sistem Ketahanan Pangan Pulau-Pulau Kecilhttp://suluhspot.blogspot.com /(upload tnggl 27-1pril-2011)
Kerjasama BUMN dengan Swasta http://www.sinartani.com/ikan/kkp-kerjasama-dengan-bumn-dan-swasta-kelola-pulau-kecil-1296190194.htm(upload tnggl 27-1pril-2011)
http://wapeala.blogspot.com/2011/11/nandur-mangrove-mbangun-ndeso.html