BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia
sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia yang teruntai oleh sekitar 17.480
pulau dengan garispantai sepanjang 95.181 km2, dan terbentang pada wilayah laut
territorial seluas 3,1 juta km2 (63% dari total wilayah territorial Indonesia)
ditambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2, memiliki potensi
sumberdaya pesisir ,laut dan pulau-pulau kecil yang luar biasa besar sehingga
tidak terbantahkan merupakan pusat keanekaragaman hayati laut terbesar dunia.
Besarnya
potensi sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang dimiliki pada sisi
dan menguatnya kecenderungan degadrasi dikawasan pesisir, laut dan pulau-pulau
kecil disisi yang lain, memberikan sinyal urgensi pengelolaan sumberdaya
pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang dapat dirangkumkan ke dalam 4 (empat)
rekomendasi :
1.
Pertama, mendesaknya penerapan undang-undang tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk meneguhkan Negara
Kepulauan.
Pada sisi formal, lahirnya Undang-undang No.
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
menuntut adanya penerapan pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau
kecil yang efektif baik secara ekologi, sosial budaya maupun ekonomi sebagai
wujud peneguhan negara kepulauan. Penerapan UU No.27/2007 harus berazaskan
keterpaduan dan keberlanjutan demi tercapainya ketahanan pangan dan peningkatan
kesejahteraan serta ekonomi masyarakat secara berkesinambungan.Selain itu
penerapan undang-undang ini dapat mendorong dan menuntut perubahan tata kelola
kelembagaan yang terkait pembangunan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil untuk
berorientasi kelautan.
2.
Kedua, penguatan pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai
“lumbung” sumberdaya hayati pesisir dan laut.
Secara agregat dapat dikatakan bahwa nilai
output perikanan nasional sebagian besar (70-80%) dihasilkan oleh kawasan
pulau-pulau kecil yang ada dinusantara ini. Hal ini tak mengherankan karena
hanya dikawasan pulau-pulau kecillah hamparan terumbu karang, selimut mangrove
dan padang lamun masih dalam kondisi yang cukup baik. Hal ini mungkin tidak
akan selamanya dalam kondisi demikian jika kita tidak memfokuskan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut pada kawasan pulau-pulau kecil. Karena itu
diperlukan langkah-langkah strategis dalam pengelolaan pulau-pulau kecil secara
berkelanjutan :
·
Membuat tata ruang kawasan pulau-pulau kecil
secara partisipatif berdasarkan kesesuaian lahan (land suitability) dan
daya dukung lingkungan (environmental carrying capacity).
·
Menyusun rencana pengelolaaan kawasan
pulau-pulau kecil berbasis ekosistem dan masyarakat.
·
Menggalakan
kegiatan-kegiatan penyuluhan dan pelatihan tentang pengelolaan terpadu
pulau-pulau kecil (misalnya konservasi dan rehabilitasi mangrove, penangkapan
ikan yang ramah lingkungan, pengembangan mata pencaharian alternatif, dan
sebagainya).
·
Membuat percontohan pengelolaan terpadu kawasan
pulau-pulau kecil berbasis masyarakat dengan pendekatan ke-manajemen (misalnya
contoh pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat, rehabilitasi
ekosistem pulaupulau kecil berbasis masyarakat).
·
Mengembangkan sistem insentif dan disinsetif
dalam implementasi pengelolaan terpadu pulau-pulau kecil berbasis ekosistem dan
masyarakat.
3.
Ketiga, pemberdayaan ekonomi rakyat khususnya yang
tinggal di wilayah pesisir.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang
berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian SDA
yang ada itu sendiri atau keuntungan ekonomi semata tapi lebih dari itu adalah
untuk kesejahteraan masyarakat kawasan pesisir dan pula-pulau kecil yang
ditunjang oleh keberlanjutan institusi.Oleh karenanya, dengan memperhatikan
aspek “kemasyarakatan” maka secara simultan keberlanjutan pemanfaatan
sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil baik secara ekologi maupun
ekonomi akan dapat dicapai, karena hal itu merupakan bagian dari sebuah sistem
pengelolaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang sangat penting
bagi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
4.
Keempat, urgensi pembangunan sumberdaya manusia melalui
pengembangan pendidikan kelautan berbasis riset.
Realitas SDM suatu bangsa tidak bisa
dilepaskan dari realitas pendidikan sebagai sistem fundamental pengelolaan dan
penghasil pengetahuan itu sendiri. Karena seberapa banyak SDM handal yang
dihasilkan akan tergantung pada sejauh mana atau sehebat apa sistem pendidikan
yang ada ituberjalan. Sudah cukup banyak hasil penelitian yang membuktikan
bahwa sistem pendidikan itu sangat erat hubungannya dengan berhasil tidaknya
usaha suatu bangsa dalam mengatasi problem yang dihadapinya. Pendidikan adalah
proses panjang yang dapat dianggap sebagai suatu alat utama untuk meningkatkan
kesadaran politik dan sosial, serta menyediakan tenaga-tenaga terlatih untuk
proses produksi dalam suatu pembangunan modern. Keahlian kejuruan dan teknis
dipandang sebagai kunci menuju modernisasi; dan pendidikan dasar , menengah
maupun tinggi yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja adalah sistem
produksinya.
Indonesia juga akrab dikenal sebagai
Negara maritim yang memiliki wilayah laut 2/3 dari seluruh luas wilayah atau sekitar 70 % wilayah teritorialnya berupa
laut. Dengan perairan laut seluas total 5,8 juta Km2
(berdasarkan konvensi PBB tahun 1982), Indonesia menyimpan potensi sumberdaya
hayati dan non hayati yang melimpah (Simanungkalit dalam Resosudarmo,
dkk.,2002). Hal ini menyebabkan sebahagian besar masyarakat
tinggal dan menempati daerah sekitar wilayah pesisir dan menggantungkan
hidupnya sebagai nelayan.
Jumlah nelayan
perikanan laut di Indonesia menurut kategori nelayan maka status nelayan penuh merupakan jumlah terbesar dari nelayan sambilan utama
maupun nelayan sambilan tambahan dan jumlah ini setiap tahunnya menunjukkan
peningkatan (Dirjen Perikanan Tangkap, 2002).Hal ini mempunyai indikasi bahwa
jumlah nelayan yang cukup besar ini merupakan suatu potensi yang besar dalam
pembangunan perikanan.
Keberadaan kehidupan
nelayan selama ini dihadapkan dengan sejumlah permasalahan yang terus
membelitnya, seperti lemahnya manajemen usaha, rendahnya adopsi teknologi
perikanan, kesulitan modal usaha, rendahnya pengetahuan pengelolaan sumberdaya
perikanan, rendahnya peranan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan, dan lain sebagainya mengakibatkan kehidupan nelayan
dalam realitasnya menunjukkan kemiskinan.
Kemiskinan,
rendahnya pendidikan dan pengetahuan serta kurangnya informasi sebagai akibat
keterisolasian pulau-pulau kecil merupakan karakteristik dari masyarakat
pulau-pulau kecil (Sulistyowati, 2003).Hasil pembangunan selama ini belum
dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di kawasan pulau terpencil.Masyarakat
diletakkan sebagai obyek pembangunan dan bukan sebagai subyek pembangunan,
dengan demikian dibutuhkan perhatian dan keinginan yang tinggi untuk memajukan kondisi masyarakat pesisir khususnya nelayan sebagai
pengelola sumberdaya pulau-pulau kecil agar dapat berlangsung secara lestari
(Sulistyowati, 2003).
Pemerintah melalui
Departemen Perikanan dan Kelautan selama ini telah melakukan kebijakan
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang berjalan berdasarkan
kebijakan KepMen 41 Tahun 2000 Departemen Kelautan dan Perikanan tentang
Pedoman Umum pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis
masyarakat. Tujuan dalam program pemberdayaan ekonomi
masyarakat pesisir adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir
melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat (DKP, 2002). Kebijakan tersebut
menghendaki perlu adanya partisipasi masyarakat,
karena keikut sertaan masyarakat akan membawa dampak positif, mereka akan
memahami berbagai permasalahan yang muncul serta memahami keputusan akhir yang
akan diambil. Untuk itu, dalam partisipasi masyarakat
diperlukan adanya komunikasi dua arah yang terus menerus dan informasi yang
berkenaan dengan program, proyek atau kebijakan yang disampaikan dengan
bermacam-macam teknik yang tidak hanya pasif dan formal tetapi juga aktif dan
informal (Hadi dalam Harahap, 2001).
Salah satu faktor yang
penting untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat nelayan adalah pembinaan yaitu antara lain; melalui penyuluhan dan pendidikan yang
terus menerus kepada masyarakat setempat. Pembinaan masyarakat dapat dilihat
dari beragam pendekatan, sehingga dapat memahami pokok-pokok pikiran tentang
pembinaan yaitu antara lain ; pembinaan merupakan
suatu sistim pendidikan non formal, yang berupaya mengubah perilaku sasarannya
Konsep
pembinaan masyarakat nelayan dalam kerangka perspektif pembangunan perikanan
yang berkelanjutan di Indonesia perlu dikaji secara baik, tepat dan menyentuh
sasaran yang ingin dicapai mengingat pertimbangan beberapa faktor, antara lain;
pembinaan masyarakat nelayan melibatkan banyak pihak yaitu, dari pemerintah,
lembaga pendidikan, swasta, lembaga-lembaga non pemerintah maupun masyarakat
nelayan sendiri; proses pembinaan yang berlangsung harus dilakukan secara terus
menerus dan simultan dengan masyarakat nelayan sehingga menimbulkan
perubahan-perubahan yang sesuai dengan tujuan pembangunan perikanan yang
diharapkan.
1. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan
kompleksitas permasalahan seperti telah dipaparkan diatas maka tujuan dalam
penulisan ini yakni menjelaskan tentang realita peyuluhan pada masyarakat
pesisir dan pulau-pulau kecil, yang meliputi karakteristik masyarakat pesisir
dan pulau-pulau kecil, kendala, hambatan, permasalahan serta peluang yang ada
pada masyarakat tersebut.
2. MANFAAT
Adapun
harapan yang ingin saya capai dalam penulisan ini yakni sesuai dengan tujuan
diatas tentang relita penyuluhan pada masyarakat pesisir dan pulau- pulau
kecil:
1.
Mengetahui tentang hambatan-hambatan dan kendala serta
permasalahan yang dialami oleh
masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
2.
Mengetahui tentang peluang yang ada pada masyarakat
pesisir dan pulau-pulau kecil
BAB II
PEMBAHASAN
REALITA
PENYULUHAN PADA MASYARAKAT PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Definisi pulau-pulau kecil
menurut UNCLOS (1982, Bab 121, Artikel VIII, paragraph I) adalah area lahan
(daratan) yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air yang berada di atas
muka air pada pasang tinggi (tidak boleh tenggelam, jika air pasang tinggi).
Definisi pulau kecil berdasarkan UU no 27
tahun 2007, tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, adalah
pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta
kesatuan ekosistemnya.
1. KENDALA
HAMBATAN DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI MASYARAKAT PESISIR DAN PULAU-PULAU
KECIL
Masyarakat yang berada
di pulau-pulau kecil dan terpencil umumnya berada dalam kondisi serba
kekurangan.Mereka tidak memiliki sumber air tawar dan energi listrik memadai.
Selain itu karena berada di luar jangkauan jaringan komunikasi dan informasi,
penduduknya terbelakang bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi juga pendidikan
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi oleh masyarakat
yang tinggal di pulau-pulau kecil adalah pangan.Hal ini tidak hanya dihadapi
oleh masyarakat pulau-pulau kecil di Indonesia, tapi juga oleh sebagian besar
negara-negara kepulauan di seluruh dunia.
Sebagaimana disadari bahwa sebuah pulau tidak dapat berdiri
sendiri dalam mencukupi kebutuhan penduduknya tanpa didukung oleh keberadaan
sumberdaya alam di pulau-pulau lain. Maka tak heran jika masalah ketahanan
pangan di negara-negara kepulauan baik di Lautan Pasifik, Atlantik, perairan
laut Asia dan Afrika telah menjadi perhatian PBB melalui badannya yaitu UN DESA
(United Nation Departement of Economic and Social Affairs) dan FAO (Food and
Agriculture Organization).
Mereka membentuk jaringan negara-negara kepulauan seperti
Small Island Developing States Network (SIDS Net), European Small Islands
Network (ESIN), Small Islands Information Network (SIIN), dan
sebagainya.Jaringan-jaringan semacam ini dibentuk oleh negara-negara pulau yang
difasilitasi oleh PBB untuk membahas dan mencari solusi terhadap segala permasalahan
yang dihadapi oleh negara-negara pulau, termasuk di antaranya masalah ketahanan
pangan.
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah
terluas di dunia juga memiliki kendala yang sama, yaitu ketahanan pangan. Bagi
Pulau Miangas, salah satu pulau terluar di Laut Sulawesi, cadangan pangan
sering menjadi kendala bagi sebagian besar penduduknya, terutama pada saat
cuaca laut tidak bersahabat, karena distribusi barang menjadi terhambat.
Pulau yang jaraknya lebih dekat ke negara tetangga Filipina
(48 mil) dari pada ke ibukota kecamatannya sendiri yaitu Kec.Nanusa (145 mil),
pada saat-saat tertentu seperti terisolir.Bagaimana jika negara tetangga
Filipina lebih peduli kepada mereka daripada kita, saudara sebangsanya sendiri?
Maka tidak ada kata lain bagi pemerintah kecuali harus serius mencari solusi
untuk menciptakan sistem ketahanan pangan bagi pulau-pulau kecil.
Di Provinsi Banten, dari sekitar 61 pulau kecil yang kita
miliki (minus 22 pulau di Kepulauan Seribu yang diklaim DKI Jakarta), kita
memiliki 3 pulau di antaranya yang sudah berpenghuni, yaitu P. Panjang, P.
Tunda dan Pulau Sangiang. Penduduk di P. Panjang dan P. Sangiang sudah
tergolong padat bahkan sudah memiliki administratif pemerintahan desa,
sedangkan P. Sangiang baru dihuni oleh beberapa keluarga saja.
Permasalahan kelangkaan pangan pun sering menimpa
saudara-saudara kita yang tinggal di pulau-pulau ini, terutama pada saat
gelombang tinggi yang terjadi sekitar bulan September-Maret setiap
tahunnya.Permasalahannya bukanlah karena daya beli mereka yang rendah, tapi
pasokannya yang tidak ada.
Stok panganlah yang tidak tersedia.Wlalupun memang diantara
mereka mungkin ada juga yang tidak memiliki kemampuan daya beli dikarenakan
pada musim barat itu mereka tidak bisa mencari nafkah di laut.Inilah cerita
yang setiap tahun harus terulang, walaupun tahun ini tidak separah tahun lalu.
Sebenarnya instrumen di tingkat daerah yang menangani
masalah ini sudah cukup banyak. Ada Dinas Kelautan dan Perikanan yang menangani
masalah pulau-pulau kecil, ada Dinas Ketahanan Pangan yang bertanggung jawab
terhadap ketahanan pangan masyarakat (food security), ada Dinas Perhubungan
untuk bantuan distribusi, bahkan ada Perum BULOG yang sifatnya selain untuk
mencari keuntungan (sejak PP No. 7 Tahun 2003) juga harus membantu pemerintah
dalam masalah ketahanan pangan. Minimal keempat instrumen itulah yang harus
dapat segera mensinergikan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan ini.
Dari sisi instrumen peraturan perundangan juga sudah cukup
tersedia. Dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan ada pasal-pasal yang
mengatur masalah Ketahanan Pangan yaitu Pasal 45 - 48, khususnya Pasal 46 d)
yang menyatakan “pemerintah mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah
dan atau menanggulangi gejala kekurangan pangan, keadaan darurat, dan atau
spekulasi atau manipulasi dalam pengadaan dan peredaran pangan”.
Cadangan Pangan Pemerintah Desa
Cadangan Pangan Pemerintah Desa
Selain itu ada pula peraturan pemerintah yang lebih khusus
membahas masalah ini, yaitu PP No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan.Dimana
pasal 5 mengamanatkan bahwa pemerintah dan masyarakat harus membentuk sebuah
sistem Cadangan Pangan Pemerintah Desa, Kab/Kota, Provinsi, dan Nasional.
Dengan kata lain bahwa masyarakat di masing-masing desa, termasuk P. Tunda, P.
Panjang dan P. Sangiang harus segera mewujudkan sistem Cadangan Pangan Desa
agar masalah ketahanan pangan dapat segera teratasi.
Provinsi Banten termasuk provinsi muda, begitu pula Dinas
Ketahanan Pangan yang juga baru dibentuk setahun terakhir, maka tak heran
apabila semuanya masih dalam tahap penataan.Untuk itu segala upaya untuk
mensinergikan langkah untuk mengatasi permasalahan ketahan pangan di
pulau-pulau kecil ini harus menjadi prioritas utama pemerintah daerah sebelum
musim barat kembali tiba.
1. PELUANG YANG ADA PADA MASYARAKAT PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Salah satu contoh peluang pada pulau-pulau
kecil:
Upaya mengangkat harkat hidup masyarakat di
pulau terpencil, dilakukan Kementerian Riset dan Teknologi bekerja sama dengan
Departemen Sosial. Salah satunya berupa penerapan teknologi pembangkit listrik
energi surya (PLTS).
Dalam kunjungan kerjanya, Menristek Hatta
Rajasa dan Mensos Bachtiar Chamsyah di Banda Aceh dan Pulau Nasi Provinsi NAD,
Selasa (6/1), menyerahkan 50 unit pembangkit listrik tenaga baterai atau aki
kepada penduduk di pulau kecil itu. Selain itu sebagai pemasok listrik utama
dibangun PLTS."Masuknya listrik di pulau-pulau kecil diharapkan akan
menghidupkan kegiatan ekonomi, sosial, dan pendidikan di daerah ini," ujar
Hatta.
Selain di Pulau Nasi, KRT akan memberikan
secara cuma-cuma 3.000 unit PLTS kepada penduduk di daerah dan pulau terpencil,
yang berada di Provinsi Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Sulawesi Selatan,
Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua.
Pembangkit listrik ini merupakan hasil kerja
sama riset antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Institut Teknologi
Bandung. Dalam hal ini melalui program Riset Unggulan Strategis Nasional
berhasil dikembangkan sel surya untuk PLTS .
Penerapan PLTS merupakan salah satu dari
upaya pemanfaatan teknologi yang berhasil dikembangkan bangsa sendiri dan
bertujuan untuk lebih mendorong masyarakat melakukan inovasi dan mandiri dalam
hal ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sjafri Sairin, Deputi bidang Dinamika
Masyarakat Kementerian Riset dan Teknologi, menambahkan, dengan menumbuhkan
kreativitas dan inovasi masyarakat diharapkan juga meningkatkan kesejahteraan
mereka.
Kementerian Kelautan dan Perikanan
menggandeng Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta dalam mengelola
pulau-pulau kecil melalui Program Corporate Social Responsibility (CSR) atau
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).Program adopsi pulau ini bertujuan
mendorong pergerakan perekonomian lokal.
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel
Muhammad mengatakan dalam upaya mendukung program tersebut, KKP telah melakukan
kerjasama dengan beberapa perusahaan swasta, seperti Conoco Philips Indonesia
Inc Ltd, Premier Oil Natuna Sea BV, Star Energy (Kakap) Ltd, PT International
Nickel Indonesia Tbk dan Medco Energy. “Beberapa perusahan tersebut telah
menunjukkan komitmennya untuk memberikan kontribusi terhadap kegiatan
pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan,” ujar Fadel Muhammad pada acara
Forum “Program Adopsi Pulau” di Jakarta, Rabu (19/1).
Fadel menambahkan KKP telah menawarkan 20 pulau kecil yang
potensial untuk Program Adopsi tersebut di antaranya Pulau Lepar, Enggano,
Kemujan, Maradapan, Maratua, Sebatik, Siantar, Gilik Belek, Pasaran, Dullah,
Koloray, Alor, Mansuar, Battoa, Selayar, Samatellu Pedda, Lingayan, Manado Tua,
Gangga dan Mentehage.
Salah satu langkah pengembangan usaha di pulau-pulau kecil
adalah pembangunan yang bersumber dari dana CSR. Setidaknya terdapat lima aspek
dalam CSR, yaitu dimensi sosial, ekonomi, lingkungan, fokus pada pemangku
kepentingan dan bersifat voluntary. Dijelaskan, kegiatan ini diawali dengan
pembangunan masyarakat melalui pengembangan aspek sosialnya, tanpa harus
menuntut profit dan pengembalian dana yang diinvestasikan.
KKP menawarkan menu kegiatan yang dapat dikembangkan
perusahaan atau BUMN meliputi rehabilitasi ekosistem pulau-pulau kecil,
pembangunan sarana dan prasarana yang mendukung usaha masyarakat, penguatan
permodalan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), pengembangan usaha mikro di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, pengembangan mata pencaharian alternatif yang
memanfaatkan potensi SDA pesisir dan pulau-pulau kecil setempat.
SALAH
SATU CONTOH PENYULUHAN PERIKANAN DI PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA :
‘Nandur
Mangrove, Mbangun Ndeso’. Kegiatan penyuluhan dan penanaman ini akan
dilaksanakan pada tanggal 29-30 Oktober 2011, di Kelurahan Mangunharjo,
kecamatan Tugu, Semarang. Kegiatan tersebut merupakan salah satu bentuk pengabdian
masyarakat yang dilakukan WAPEALA, mengingat berbagai permasalahan lingkungan
yang masih menjadi trend topic di Indonesia, khususnya Semarang.
Salah satu permasalahannya adalah berkurangnya daerah mangrove sehingga mengakibatkan abrasi di kawasan pantai Semarang.Untuk itulah WAPEALA sebagai organisasi yang bergerak di bidang petualangan dan lingkungan menjadi tergerak untuk merehabilitasi pantai yakni melakukan penanaman bibit mangrove sebanyak 5000 bibit dan sekaligus memberikan penyuluhan kepada warga di sekitar pantai.
Salah satu permasalahannya adalah berkurangnya daerah mangrove sehingga mengakibatkan abrasi di kawasan pantai Semarang.Untuk itulah WAPEALA sebagai organisasi yang bergerak di bidang petualangan dan lingkungan menjadi tergerak untuk merehabilitasi pantai yakni melakukan penanaman bibit mangrove sebanyak 5000 bibit dan sekaligus memberikan penyuluhan kepada warga di sekitar pantai.
Menurut
ketua panitia, Ardiyan, mengatakan, maksud dari tema yang diusung yakni ‘Nandur
Mangrove, Mbangun Ndeso’ adalah kegiatan penyuluhan dan penanaman bibit
mangrove ini tidak sekedar menanam bibit, tetapi juga mengupayakan pemanfaatan
dan pengolahan bibit mangrove hingga memiliki nilai ekonomis yang berguna bagi
masyarakat khususnya warga Mangunharjo.
Dalam
kegiatan ini WAPEALA akan mengajak warga Mangunharjo dan sejumlah perwakilan
SMA se-kota Semarang serta relawan asing dari IIWC untuk ikut berpartisipasi
dalam rehabilitasi daerah mangrove.
“
WAPEALA juga mengajak Dinas Perikanan dan Kelautan, Departemen Kehutanan
(Dinhut), Perum Perhutani dan beberapa instansi terkait lainnya untuk mendukung
kegiatan ini. Dalam kegiatan ini warga juga akan diajak berperan aktif bersama
pemateri, salah satunya mengolah bibit mangrove menjadi aneka makanan ringan”,
tambah Ardiyan.
Melalui
kegiatan penanaman dan penyuluhan bibit tanaman mangrove ini diharapkan dapat
membangun masyarakat madani dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya pelestarian lingkungan.(Rni)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan
diatas saya dapat mengambil kesimpulan bahwa realita penyuluhan yang
terjadi pada Masyarakat pulau-pulau kecil mengalami banyak kendala, hambatan
maupun permasalahan diantaranya sumber air yang digunakan, pangan, listrik,
transportasi dan lain sebagainya, hal ini jelas sangat berpengaruh terhadap
suatu penyuluhan yang akan dilakukan, karena penyuluh dan penyuluhan sendiri membutuhkan
sarana tersebut sebagai media dalam melakukan penyuluhan. Untuk itu Perlu adanya campur tangan pemerintah dan
pihak swasta terutama meteriil untuk membangun daerah tesebut, seperti sarana
pendidikan, tekhnologi yang memadai, dan fasilitas lainnya yang menunjang
daerah tersebut untuk kedepannya. Sedangkan bantuan imateriil berupa sumbangan
dalam pemberian penyuluhan.
B.
SARAN
Adapun saran yang dapat saya sampaikan
yakni dibutuhkan kerjasama yang baik dari pihak pemerintah, swasta, maupun
masyarakat pulau-pulau kecil sendiri mencakup seluruh aspek kehidupan agar
terciptanya suatu inovasi demi terwujudnya kemajuan dalam bidang tekhnologi
maupun kesejahteraan masyarakat dipulau-pulau kecil itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulmuthalib.2009.Model
pengolahan pesisir dan pulau-pulau kecilhttp://www.abdulmuthali
b.co.cc/2009/08/4-model-pengelolaan-pesisir-dan-pulau.html.
Dedansa.2010Menakar
Ulang Hak Pengusahaan Perairan Pesisirhttp://denansa.blogspot.com/201
0/04/dampak-perubahan-iklim-di-pulau-pulau.html,Cirebon
Stoddart, 1975 dalam makalah Wikanti Asriningrum. 2004. Studi identifikasi
karakteristik pulau kecil menggunakan data landsat dengan pendekatan
geomorfologi dan penutupan lahan. Institute pertanian Bogor(upload tnggl
27-1pril-2011)
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0705/10/utama/3523568.htmAir
Bersih di Kepulauan Kei(upload
tnggl 27-1pril-2011)
http://endansuwandana.blogspot.com/2009/04/sistem-ketahanan-pangan-pulau-pulau.html(upload tnggl 27-1pril-2011)
Sistem Ketahanan Pangan Pulau-Pulau
Kecilhttp://suluhspot.blogspot.com /(upload tnggl 27-1pril-2011)
http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2010/07/30/masyarakat-pesisir/(upload tnggl 27-1pril-2011)
http://blogramsesnadeak.wordpress.com/2011/04/08/meninjau-pemberdayaan-masyarakat-dipula
u-kecil/(upload tnggl
27-1pril-2011)
Kerjasama BUMN dengan Swasta
http://www.sinartani.com/ikan/kkp-kerjasama-dengan-bumn-dan-swasta-kelola-pulau-kecil-1296190194.htm(upload tnggl 27-1pril-2011)
http://wapeala.blogspot.com/2011/11/nandur-mangrove-mbangun-ndeso.html